Dominasi Patra Punggel Sebagai Hiasan Dekorasi Pada Bangunan Wadah Di Badung

Main Article Content

I Gusti Ngurah Agung Jaya CK
I Wayan Sukarya

Abstract

Patra punggel adalah bentuk ornament Bali, yang lebih dominan di terapkan pada bangunan wadah yang ada di Bali. Patra punggel bila dipisah-pisahkan, akan menjadi bentuk dekorasi yang bermotif monotun, yang disebut dengan keketusan, yang biasanya digunakan untuk menghias bagian pepalihan yang memanjang. Jika patra punggel digabungkan dengan bentuk muka, topeng, yang berbentuk manusia atau binatang, akan menjadi ornament kekarangan, yang biasanya digunakan untuk mendekorasi bentuk pepalihan segi empat, segi empat panjang, atau menhias pada bagian sudut dari bangunan wadah  atau bangunan suci. Patra punggel adalah kumpulan bentuk motif, menjadi satu kesatuan yang harmonis, jumlahnya lima bentuk karakter motif, diantaranya: Ada yang disebut dengan janggar ayam, yang bentuknya melingkar, mengambil bentuk tanaman paku yang muda, Ada yang disebut dengan batu poh, yang bentuknya mengambil bentuk biji mangga, ada pula yang disebut kuping guling, yang mengambil bentuk telinga babi yang dipanggang, ada bentuk ampas nangka yang mengambil bentuk ari dari buah nangka, ada pula bentuk pepusuhan, adalah mengambil bentuk tunas muda dari tumbuhan yang masih muda, ada bentuk util atau ikut celedu, mengambil bentuk ekor kala jengking, yang penuh dengan racun pada ujung ekornya. Bentuk janggar ayam, batu poh, kuping guling, ampas nangka, pepusuhan dan ikut celedu, menjadi satu kesatuan yang harmonis disebut patra punggel. Bentuk patra punggel ini mendominasi dekorasi pada bangunan wadah, yang digunakan sebagai tempat menaruh jenazah, yang nantinya diusung dibawa kekuburan, sebagai bagian dari sarana upacara ngaben di Bali. Pepalihan adalah suatu bentuk yang menyerupai anak tangga yang disusun secara beraturan sebanyak tiga tingkatan yang diulang-ulang baik susunannya naik maupun turun, terbalik maupun mendatar. Dimana fungsi dari pepalihan ini untuk membentuk suatu menara yang makin mengecil, menyerupai menara tower. Kegunaannya pepalihan untuk merekatan atau menempelkan beberapa ragam hias yang memberikan kesan megah berwibawa bagi seseorang telah meninggal yang akan diaben/dibakar. Makin rumit ragam hias yang digunakan, ini akan menampilkan keluarga yang meninggal orang berkasta. Bangunan wadah adalah bangunan yang mengambil bentuk pepalihan, pada bagian atasnya mempunyai atap atau tidak menggunakan atap, tergantung pemesannya, berfungsi untuk menaruh jenazah, sebagai simbol kendaraan memuju kealam lain, bangunan wadah digotong diarak menuju kekuburan, sesampainya di kuburan bangunan wadah dibakar, juga jenazah dibakar sebagai symbol pengembalian unsur-unsur alam atau unsur panca maha bhuta (air,tanah, api,angkasa, udara). Luaran Penelitian yang ingin dicapai salah satunya artikel pada jurnal nasional terakreditasi (terindek sinta), dan Satu buah buku hasil penelitian ber-isbn. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dimana data yang didapat, kebanyakan diambil dari hasil observasi, wawacara dan dokumentasi, dengan nara sumber dari para seniman, Ketua adat istiadat, Kepala desa dan masyarakat pengguna dari bangunan wadah. 

Article Details

How to Cite
Jaya CK, I. G. N. A., & Sukarya, I. W. (2020). Dominasi Patra Punggel Sebagai Hiasan Dekorasi Pada Bangunan Wadah Di Badung. Segara Widya : Jurnal Penelitian Seni, 8(2), 149–177. https://doi.org/10.31091/sw.v8i2.1193
Section
Articles

References

Abdulyani. 2002. Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Akasara.

Acwin Dwijendra. 2009. Arsitektur Bangunan Suci Hindu. Denpasar: CV.Bali Media Adhikarsa.

A.A.M. Djelantik. 2008. Estetika, Sebuah Pengantar. Jakarta. MSPI & Ford Faundation.

Atmaja, Jiwa, dkk. 1988. Puspanjali, Persembahan untuk Prof. Dr. Ida bagus Mantra. Denpasar: CV Kayumas.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Gede Suyoga, I Putu. 2014. Arsitektur Bade Transformasi Konsep menuju Bentuk.Denpasar: Yayasan Kryasta Guna.

Gelebet, I Nyoman, dkk. 1981-1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Kaler, I Gusti ketut. 2008. Ngaben, Mengapa Mayat Dibakar?. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Nala dan Wiratmadja. 1997. Murddha Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra. Rai Arnita,dkk. 1997. Teks, Alih Aksara dan Alih Bahasa Lontar Yama Purwwa Tattwa, Yama Purana Tattwa, Yama Purwana Tattwa dan Yama Tattwa(terjemahan) Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali.

Pastika, I Dewa Made. 1981. “Petulangan Lembu dan Singa Dalam Upacara Ngaben Ditinjau dari Sudut Kesenirupaan Di Bali” (Skripsi). Denpasar: UNUD.

Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP). 1978. UPADECA, Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Singaraja: PHDP.

Piliang, Yahraf Amir.2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna..Yogayakarta:Jalasutra.

Pulasari, Jro Mangku.2007. Cakepan, Asata- Kosali, Uperenggenia Lan Dharmaning Bhagawan Siswa Karma. Surabaya: Paramita.

Purwita, IB. Putu. 1997. Upacara Ngaben. Denpasar: Upada Sastra.

Sahman, Humar. 1993. Estetika Telaaah Sistemik dan Historik. Semarang: IKIP Semarang

Sudharta, dkk, 1993. Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar: Upada Sastra.

Wirya, I Wayan. 1994, “Bade Padma Negara”( Skripsi). Denpasar: STSI Denpasar.

Adjat Sakri. 1986. Beberapa asas menggambar Dwimatra. Bandung. ITB. Terjemahan Wucius

Wong. 1972. Principles of two-dimensional design. Published by Van Nostrand Reinhold Company, Inc.