Fenomena Upacara Yadnya Dan Judi Tajen Dalam Penciptaan Karya Seni Rupa
DOI:
https://doi.org/10.31091/mudra.v33i2.347Keywords:
Fenomena, Upacara Yadnya, Judi TajenAbstract
Bagi masyarakat Hindu, melaksanakan upacara yadnya merupakan bagaian yang tak terpisahkan, baik yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara atas nama pribadi, kelompok dadya, maupun desa pakraman. Masyarakat melaksanakan upacara dengan perasaan tulus iklas, murni dan suci sebagai ucapan terimakasih pada Yang Kuasa atas segala rahmatNYA. Suatu hal yang sangat memprihatinkan adalah pelaksanaan upacara yang murni, suci, tulus iklas, dengan tampilan yang sangat artistik, tidak selalu diikuti dengan suasana religius karena upacara tersebut sering dimanfaatkan untuk menunjukan stratifikasi kehidupan sosial di masyarakat, sehingga sering dalam ritual seremonial lebih utama dari religiusnya. Selain itu banyak ritual selalu dibarengi dengan judi tajen yang dimaknai sebagai tabuh rah. Sebuah fenomena, antara ritual yang suci selalu bergandengan dengan gengsi dan judi yang maksiat. Hal ini disebabkan karena pemahaman masyarakat tentang upacara yadnya, tabuh rah dan tajen sangat kurang. Upacara pun tak terhindar dari situasi paradoksal, berada dalam suatu posisi yang sangat sulit, karena upacara yang sangat religius selalu dibarengi dengan gengsi dan judi yang maksiat. Tujuan penciptaan ini adalah untuk memberi pemahaman pada masyarakat bahwa upacara yadnya harus dilaksanakan dengan hati yang tulus iklas dan tidak boleh diikuti dengan judi. Hasil penciptaan ini diharapkan dapat dijadikan studi komparatif bagi seniman dan mahasiswa dalam penciptaan karya seni lebih lanjut.
Religious ceremonies are inseparable part of being Balinese Hindus, either those related to personal yadnya rites, dadya groups, or desa pakraman. Various ritual facilities are attractively and beautifully displayed, expressing the beauty of those offerings as well as sincere, pure and sacred feeling. What concerns us most is that the supposedly sacred rituals that are held with sincere and pure feelings are not always meant to be purely religious activities. It could be because such rituals are held to show off social status; therefore ceremonial aspects are more dominant than the religious ones. In fact, more often than not, tajen cockfights accompany the rituals construed as tabuh rah: a phenomenon that combines sacred rituals with a show off and immoral gambling. The reason has been the lack in understanding of the rituals: tabuh rah and tajen. Here lies a difficult paradox: the sacred religious rites have always been accompanied by a show off and immoral cockfight as gambling. The creation of this sculpture work is intended to give bettors (or bobotohs) an understanding that the rituals should be held with sincerity and not using them for gambling. The creation is expected to serve the purpose of comparative studies on further creation sculptural works.
Downloads
References
Atmadja, Nengah Bawa, Tajen di Bali; Perspektif Homo Cmplexus, Pustaka Larasan IBBi KUndiksha, Singaraja, 2015.
Daksa, Acarya Paramananda Muni, Kesalahpahaman Dibalik Yadnya Mecaru di Bali, CV. Bali Media Adhikarsa, Denpasar, 2008.
Djendra, Ida Bagus Rai, Hindu Agama Universal, Paramita, Surabaya, 2013.
Kerepun, Kembar Made, Kelemahan dan Kekuatan Manusia Bali (Sebuah Otokritik), PT. Empat Warna Komunikasi, Denpasar, 2007.
Mertha, I Ketut, Politik Kriminal: Dalam Penanggulangan Tajen di Bali, Udayana University Press, Denpasar, 2010.
Purwita, Ida Bagus Putu, Pengertian Tabuh Rah di Bali, Pemda Bali, Denpasar,2003
Putrawan, I Nyoman, Ceki Puja Menipu Diri Dengan Dalih Agama, Pustaka Bali Post, Denpasar, 2004.
Setia, Putu, Menggugat Bali, Pustaka Grafiti perss, 1986.
Subawa, I Gede, Reformasi Retual, Mentradisikan Agama Bukan Mengagamakan
Sugiarto, Bambang, Agus Rahmat W., Wajah Baru Agama dan Etika, Kanisius, Yogyakarta, 2000. Tradisi, Pustaka Bali Post, 2012.
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, Editor, Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Widya Dharma, Denpasar, 2003.
Utarayana, Pengayam-Ayam, Offset Ria, Denpasar, 1993.
Wiana, I Ketut, Mengapa Bali Disebut Bali?, Paramita, Surabaya, 2004.
______, “Ajeg Bali adalah Tegaknya Kebudayaan Hindu Baliâ€, Dialog Ajeg Bali, Paramita, Surabaya, 2005.
Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya, Makna Filosofis Upacara dan Upakara, Paramita, Surabaya, 2004.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
- Copyright on any open access article in a journal published by Mudra Jurnal Seni Budaya is retained by the author(s).
-
The Creative Commons Attribution License 4.0 formalizes these and other terms and conditions of publishing articles.