Makna Ruwatan Wayang Cupak Dalang I Wayan Suaji
DOI:
https://doi.org/10.31091/mudra.v36i1.1329Keywords:
ruwatan, Wayang Cupak, Dalang I Wayan SuajiAbstract
Wayang Cupak termasuk pertunjukan langka di Bali, keberadaannya menambah genre pertunjukan Wayang Kulit Bali yang terus berkembang. Pertunjukan wayang kulit berfungsi sebagai wali, bebali, dan balih-balihan. Sebagai seni wali, pertunjukan wayang kulit hadir dalam berbagai jenis upacara termasuk upacara ruwatan. Upacara ruwatan yang paling populer di Bali disebut dengan Sapuh Leger. Selain Wayang Sapuh Leger, Wayang Cupak pun juga difungsikan untuk ruwatan seperti di Kabupaten Badung. Banyak ditemukan dalang wayang kulit di Kabupaten Badung, namun tidak banyak yang khusus mementaskan Wayang Cupak, hanya Dalang I Wayan Suaji yang merupakan keturunan dalang Wayang Cupak mampu meneruskan budaya ruwatan melalui pertunjukan Wayang Cupak. Orang-orang yang diruwat umunnya telah menginjak dewasa yang memiliki sifat loba, rakus, pemalas, dan tidak mengenal etika. Fenomena ruwatan (fenomena budaya) dikaji melalui pendekatan ilmu kajian budaya dengan metode kualitatif yang hasilnya merupakan deskripsi pencatatan hasil pengumpulan data, pengolahan data hingga analisis data tentang gejala atau fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Ruwatan Wayang Cupak yang terpelihara masyarakat hanya di wilayah Desa Adat Kerobokan dan sekitarnya dan sudah menjadi sebuah tradisi. Bentuk ruwatan Wayang Cupak dapat dilihat sarana dan prasarananya, seperti: canang uleman, banten ruwatan, pementasan wayang, proses ruwatan, mantra ruwatan, dan tirta ruwatan. Setelah dikaji bentuk ruwatannya, kemudian maknanya bagi masyarakat Hindu Bali. Beberapa makna ditemukan berupa: makna filosofis, makna religius, makna simbolik, makna pembersihan diri, dan makna budaya. Dapat dikatakan bahwa pertunjukan Wayang Cupak pada umumnya hanya dipentaskan untuk ruwatan dan belum disentuh oleh teknologi canggih, pertunjukannya masih sangat tradisi, dan hanya diganti gamelannya saja sebagai media untuk menciptakan iringan sesuai dengan adegan dalam lakon. Lakonnya bersumber dari cerita panji/malat atau folklore, sehingga secara filosofis wacana dikaitkan dengan konsep rwa belum ditemukan bhineda yang harus dilalui dalam kehidupan untuk menuju moksartam.
Downloads
References
Djelantik. 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I Estetika Instrumental. Denpasar. STSI Denpasar.
Muji Sutrisno dan Christ Verhaak. 2009. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta : Kanisius.
Nur Sahid. 2016. Semiotika Untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Yogyakarta : Gigih Pustaka Mandiri.
Sachari, Agus. 2002. Estetika : Makna, Simbol dan Daya. Bandung : ITB.
Sedana, I Nyoman. 1995.â€Festival Wayang Kulit Cupak 1995: Siasat Seniman Dalang dalam Pembinaan Seni Pewa-yanganâ€. (Laporan Penelitian). Denpasar : STSI Denpasar.
Sedana, I Nyoman. 1996. “Festifal Wayang Cupak ’95 Mengubah Peta Seni Pewayangan Baliâ€. Dalam Majalah Wreta Citta No. 5 Th.III Maret 1996. Denpasar : STSI Denpasar.
Seramasara, I Gusti Ngurah. 2000. “Sejarah Pewayangan di Bali : Sebuah Renunganâ€. Dalam Jurnal Mudra Edisi No. 9 tahun VIII September 2000. Denpasar: STSI Denpasar.
Suartaya, Kadek. 2001. “Transformasi Cak dari Ritus Magis Ke Presentasi Estetisâ€. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Sugita I Wayan dan Desi Sentana. 2020. Ajaran Kanda Pat Dalam Wayang Cupak. .Denpasar : Paramita.
Supatra, I Nyoman Kanduk. 2008. Cupak ke Brahmaloka. Denpasar : Pustaka Bali Post.
Watra, W. 2005. Filsafat Wayang dalam Panca Yadnya. Surabaya : Paramita.
Wicaksana, I Dewa Ketut. 1999. “Wayang Sapuh Leger Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Baliâ€. Jurnal Mudra No. 6 Tahun VI Maret 1998. Denpasar: STSI Denpasar.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
- Copyright on any open access article in a journal published by Mudra Jurnal Seni Budaya is retained by the author(s).
-
The Creative Commons Attribution License 4.0 formalizes these and other terms and conditions of publishing articles.